charger.my.id
Ketika Petani Tak Dilindungi: Penembakan di Bengkulu dan Krisis Keadilan Agraria

Oleh: Syafah Salsabila
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bengkulu, Angkatan 2025

Charger | Bengkulu — Penembakan lima petani di Pino Raya, Bengkulu Selatan, bukan sekadar tindak kriminal. Peristiwa ini mencerminkan ketimpangan struktural dalam konflik agraria dan menggambarkan bagaimana hukum sering kali bekerja dalam relasi kekuasaan yang timpang antara masyarakat dan korporasi.

Latar Belakang Kejadian

Pada 24 November 2025, lima petani Desa Pino Raya yang tergabung dalam Forum Masyarakat Pino Raya (FMPR) menjadi korban penembakan oleh oknum keamanan PT Agro Bengkulu Selatan (PT ABS). Insiden bermula ketika warga menolak pembukaan jalan oleh perusahaan di lahan yang masih mereka anggap sebagai wilayah sengketa.

Sekitar 40 warga menghadapi 10 karyawan perusahaan yang tengah mengoperasikan alat berat. Ketegangan meningkat hingga seorang karyawan berinisial RK melepaskan tembakan, melukai lima orang petani.

Analisis Sosiologi Hukum: Ketimpangan dan Kekerasan dalam Konflik Agraria

Kasus ini menjadi peringatan keras tentang lemahnya perlindungan hukum bagi masyarakat akar rumput. Dalam kacamata sosiologi hukum, konflik antara masyarakat dan korporasi bukan hanya persoalan legal formal, namun mencerminkan persoalan struktural yang lebih dalam.

1. Hukum sebagai Instrumen Kekuasaan

Dalam konflik agraria, petani sering berada pada posisi paling lemah. Perusahaan umumnya memiliki akses terhadap legalitas formal, sumber daya besar, serta kedekatan dengan struktur kekuasaan. Akibatnya, hukum yang seharusnya melindungi masyarakat justru dapat berubah menjadi alat legitimasi bagi pihak yang lebih kuat.

Tindakan represif berupa penembakan bukan sekadar tindakan individual, melainkan wujud bagaimana struktur kekuasaan bekerja. Perusahaan merasa berhak memaksakan klaimnya, sementara masyarakat tidak memiliki perangkat perlindungan hukum yang setara.

2. Ketidakpastian Legalitas Lahan

Akar masalah agraria di Indonesia hampir selalu berkaitan dengan tumpang tindih izin, status HGU yang tidak transparan, serta lemahnya tata kelola perizinan. Desakan masyarakat sipil agar izin PT ABS ditinjau ulang menunjukkan dugaan adanya ketidakteraturan administratif.

Ketidakpastian ini membuka ruang konflik yang rentan berujung kekerasan. Ketika hukum gagal memberikan kepastian, masyarakat justru menghadapi kondisi yang semakin tidak aman.

3. Menurunnya Kepercayaan terhadap Aparat dan Negara

Penembakan petani di lahan yang selama ini mereka kelola menjadi pukulan telak bagi legitimasi negara. Dalam perspektif sosiologi hukum, kepercayaan publik adalah fondasi berfungsinya sistem hukum. Ketika aparat tak hadir melindungi rakyat kecil, hukum kehilangan wibawanya.

Peristiwa ini memperkuat persepsi bahwa hukum lebih sigap melindungi kepentingan korporasi dibanding kepentingan warga.

4. Krisis Agraria yang Bersifat Sistemik

Kasus Bengkulu bukanlah kejadian tunggal, melainkan bagian dari rangkaian panjang konflik agraria di Indonesia. Ketimpangan penguasaan tanah, lemahnya regulasi, serta minimnya keberpihakan pada petani membuat insiden serupa terus terulang.

Sosiologi hukum menegaskan pentingnya penyelesaian konflik yang mempertimbangkan aspek sosial, bukan sekadar aspek legal formal, agar tidak melahirkan ketidakadilan baru.

Negara Harus Hadir Melindungi Warga

Untuk mencegah tragedi serupa terulang, negara perlu mengambil langkah konkret:

1. Mengusut tuntas pelaku penembakan dan memastikan proses hukum yang transparan.

2. Melakukan audit menyeluruh terhadap legalitas izin dan praktik perusahaan di kawasan sengketa.

3. Memperkuat perlindungan hukum bagi petani dan komunitas lokal yang terdampak aktivitas korporasi.

4. Mempercepat reformasi agraria sebagai solusi struktural jangka panjang.

Selama petani masih ditembak ketika memperjuangkan tanahnya, krisis keadilan agraria akan terus berlangsung.

OJK Terbitkan POJK 25/2025, Tambah Masa Transisi Pemenuhan Rasio Permodalan LKM

Charger | Jakarta, 4 Desember 2025 — Otoritas Jasa Keuangan (OJK) resmi menerbitkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 25 Tahun 2025 sebagai perubahan atas POJK 49 Tahun 2024 mengenai pengawasan dan penetapan status pengawasan bagi Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro (LKM), dan lembaga jasa keuangan lainnya.

Regulasi baru ini mengatur penyesuaian terhadap parameter kuantitatif dalam penetapan status pengawasan untuk LKM, terutama terkait pemenuhan rasio ekuitas terhadap modal disetor. Melalui aturan tersebut, OJK memberikan tambahan masa peralihan bagi LKM untuk memenuhi ketentuan rasio permodalan yang sebelumnya langsung berlaku sejak POJK 49/2024 diundangkan.

OJK menjelaskan bahwa kebijakan ini diambil agar LKM memiliki ruang yang lebih memadai untuk memperkuat struktur permodalannya. Penyesuaian ini penting agar penguatan tersebut tidak mengganggu operasional maupun fungsi intermediasi LKM dalam menyediakan akses pembiayaan bagi pelaku usaha mikro dan kecil.

Dalam POJK 49/2024, OJK menetapkan tiga kategori status pengawasan bagi industri PVML—termasuk LKM—yakni pengawasan normal, intensif, dan khusus. Penetapan status tersebut menggunakan tiga parameter utama: peringkat komposit tingkat kesehatan, rasio ekuitas terhadap modal disetor, dan rasio piutang pembiayaan/pinjaman bermasalah neto. Dua dari tiga parameter tersebut memiliki masa transisi selama tiga tahun, namun rasio ekuitas terhadap modal disetor diberlakukan segera sejak peraturan diundangkan.

OJK menilai bahwa kondisi ekonomi yang melambat telah mempengaruhi kemampuan bayar debitur dan menekan kinerja LKM, termasuk rasio ekuitas terhadap modal disetor. Di sisi lain, perbaikan permodalan memerlukan waktu yang lebih panjang karena keterbatasan akses pendanaan, kapasitas pemegang saham, dan sumber permodalan yang tersedia bagi LKM.

Dengan mempertimbangkan dinamika industri dan tantangan ekonomi terkini, OJK menetapkan perlunya penyesuaian melalui POJK 25/2025. Tambahan masa transisi ini diharapkan memungkinkan LKM memperkuat permodalannya secara bertahap dan terukur.

OJK menegaskan komitmennya dalam menerapkan pengawasan yang proporsional, responsif, dan adaptif terhadap perkembangan industri, serta memastikan LKM dapat terus menjalankan fungsi pelayanan keuangan dengan tata kelola yang baik dan perlindungan konsumen yang memadai. (Rilis Resmi OJK)

Menkeu Ultimatum OJK: Insentif Ritel Ditahan Jika “Penggoreng Saham” Tak Ditindak

Charger | Jakarta – Pemerintah menekan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk mengambil langkah hukum tegas terhadap praktik manipulasi pasar, dengan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa memberikan tenggat enam bulan sebelum insentif fiskal bagi investor ritel dapat dicairkan.

Purbaya memberikan ultimatum keras terkait maraknya praktik manipulasi pasar atau “saham gorengan”. Ia menegaskan bahwa pemerintah akan menahan penyaluran insentif fiskal bagi investor ritel hingga ada tindakan hukum yang nyata terhadap para pelaku manipulasi tersebut.

Ia memberikan tenggat waktu enam bulan kepada Ketua Dewan Komisioner OJK, Mahendra Siregar, untuk menyelesaikan persoalan yang sudah berlangsung lama ini, dan menuntut penegakan hukum yang konkret, bukan hanya sanksi administratif.

“Kalau kita lihat enam bulan, lengkapin nggak? Ada yang dihukum atau nggak, nanti kita lihat,” ujar Purbaya di Bursa Efek Indonesia (BEI), Rabu (3/12/2025).

Menkeu menekankan bahwa insentif fiskal tidak akan diberikan selama pasar modal masih dipenuhi praktik manipulatif yang merugikan investor. Memberikan insentif di tengah kondisi pasar yang belum bersih, menurutnya, hanya akan menjerumuskan investor pemula ke situasi berisiko tinggi.

“Kalau ada action yang clear bahwa penggoreng saham itu dikenakan sanksi, baru kita kasih insentif ke investor,” tegasnya.

Purbaya menilai langkah ini penting untuk menciptakan ekosistem investasi yang sehat. Ia menyoroti bahwa fenomena saham gorengan sudah berlangsung selama puluhan tahun, namun hanya sedikit pelaku yang benar-benar dijatuhi hukuman.

“Selama ini puluhan tahun rasanya kita tahu banyak penggoreng di pasar saham, tapi sedikit sekali yang dihukum,” tambahnya.

Pemerintah menunggu bukti keseriusan berupa tindakan hukum, termasuk penangkapan atau sanksi pidana bagi para pelaku yang selama ini menggerakkan praktik manipulatif tersebut.

Purbaya menegaskan bahwa dukungan insentif dari pemerintah bukan sekadar janji, tetapi bagian dari strategi memperluas partisipasi publik. Namun, strategi tersebut hanya akan dijalankan jika pasar benar-benar bersih dan aman bagi masyarakat.

Sebagai informasi, “goreng saham” adalah praktik manipulasi harga saham secara sengaja agar tampak naik drastis dalam waktu singkat untuk menarik minat investor ritel. Setelah harga melonjak, pelaku menjual saham secara besar-besaran sehingga harga anjlok dan merugikan investor yang terlambat masuk.